UNIVERSITAS GUNADARMA
A. Memilin pasangan
Perkawinan adalah ikatan atau
komitmen emosional dan legal antara seorang pria dengan seorang wanita yang
terjalin dalam waktu yang panjang dan melibatkan aspek ekonomi, sosial,
tanggungjawab pasangan kedekatan fisik serta hubungan seksual (Regan, 2003;
Olson & Defrain, 2006; Secommbe & Warner, 2004)
1. Teori Psikodinamika
Psikodinamika adalah salah satu
aliran besar dari tiga aliran besar di Psikologi. Tokoh yang terkenal dari
aliran ini adalah Sigmund Freud, inti dari aliran ini adalah bahwa tingkah laku
dan kepribadian dipengaruhi oleh ketidaksadaran. Jadi, kita melakukan atau
bersikap sesuatu karena hal-hal yang secara tidak sadar ada di dalam diri kita.
Menurut teori ini, seseorang memilih pasangan karena
a) parent image, kita cenderung
memilih pasangan hidup yang seperti orang tua kita. Misalnya seorang perempuan
yang jatuh cinta pada laki-laki yang hampir mirip ayahnya, juga seorang
laki-laki yang menikah perempuan yang hampir mirip ibunya. Biasanya mirinya itu
tingkah laku, atau cara pemikiran.
b) ideal mate, kita memilih
pasangan berdasarkan kriteria pasangan ideal yang sudah ada di dalam diri kita.
biasanya setiap orang memiliki kriteria tertentu tentang pasangan ideal. nah,
misalnya saya mau menikah dengan orang yang suka warna biru, atau menurut kita
pasangan ideal itu adalah yang sholat subuh nya di masjid #eh.
2. Teori kebutuhan
Menurut teori ini, biasanya kita
mencari pasangan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup kita. Atau ada juga teori
kebutuhan komplementer, dimana hubungan pasangan itu bisa terjalin karena dua
orang yang merasa bisa saling memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Kebutuhan
hidup itu ga terbatas sama sandang, pangan, papan, tapi juga kenyamanan, kasih
sayang, perhatian, dll.
3. Teori Pertukaran
a. Pertukaran yang tradisional,
dimana pasangan melanjutkan hubungan karena percaya akan mendapatkan kembali
apa yang sudah diberikan pada pasangan. Jadi seseorang yakin akan mendapatkan
hal yang setimpal dari apa yang sudah ia berikan pada pasangannya.
b. Teori Keadilan, dimana
seseorang yakin dan percaya bahwa hubungan yang baik dan tepat akan
mengembalikan apa yang sudah diberikan dengan proporsi yang tepat.
4. Teori Proses Perkembangan
Ada faktor-faktor perkembangan
yang memengaruhi seseorang untuk memutuskan apakah pasangannya merupakan orang
yang tepat untuk menjadi pasangan hidup. a) apakah seseorang itu memenuhi
syarat untuk dijadikan pasangan hidup, b) keakraban dan kedekatan, c)
ketertarikan, d) homogami dan heterogami, kecenderungan atas homogami dan
heterogami tentunya menentukan siapa yang akan dijadikan pasangan hidup. e)
kesesuaian, apakah dua orang merasa sesuai dan serasi untuk hidup bersama. f)
proses penyaringan dan seleksi, seorang yang ingin dijadikan pasangan hidup
akan kita seleksi dan saring agar menemukan orang yang dianggap tepat.
5. Teori waktu dan tempat
Nah ini, pasangan hidup yang
tepat bisa jadi muncul di waktu dan tempat yang paling tepat. Sebaik apapaun,
atau secocok apapun seseorang dengan kriteria yang kita inginkan bisa jadi
orang itu tidak akan membuat kita merasa yakin bahwa ia lah pasangan yang
tepat. Tapi bisa jadi, seseorang yang biasa saja datang di waktu dan tempat
yang tepat membuat kita merasa ‘klik’ dan yakin ini dia!
6.Teori
Stimulus-Value-Role
hubungan yang serius biasanya
melewati tiga tahapan, pertama, dua orang yang saling tertarik karena
penampilan fisik, karena interaksi yang nyambung, reputasi, pakaian yang
dipakai. Pokoknya seseorang tertarik dengan orang lainnya karena hal-hal yang
terlihat dari luar.
kemudian, tahap kedua adalah
karena pasangan ini memiliki kesamaan value/nilai dalam memandang kehidupan.
memiliki visi dan misi hidup yang sama, kemauan untuk saling mengkompromikan
nilai tentang hidup, cara pandang akan politik, lingkungan, dll.
terakhir, tahapan role/peran.
pasangan mengevaluasi diri apakah mereka bisa melakukan dan berbagi peran
dengan baik antar satu sama lain. kalau ketiga tahapan ini berjalan dengan
baik, bisa jadi pasangan itu merupakan orang yang tepat. Atau kalau mau
menemukan orang yang tepat coba carilah orang yang cocok dan sesuai melewati
tiga tahapan ini bersama.
B. Hubungan dalam perkawinan
PENYESUAIAN DIRI
Dengan
mengamati relasi Anda dalam perkawinan untuk kemudian mencocokkannya dalam
tipe-tipe yang disebutkan di atas, bukan berarti kita lantas pesimis bila
ternyata tipe perkawinan kita cenderung rawan konflik. Justru sudah saatnya
kedua belah pihak introspeksi diri guna mengupayakan kebahagiaan perkawinan
yang telah mereka bina. Di antaranya Kesediaan menerima hal yang kurang
mengenakkan kesediaan menyesuaikan peran, menyesuaikan komunikasi saat konflik,
menyesuaikan diri dalam kehidupan seks, sekaligus keberanian mengantisipasi
perubahan-perubahan. Bukankah setiap orang pada dasarnya memiliki dinamika
tersendiri alias selalu berubah?
TIPE-TIPE PERKAWINAN
1.
Conflict-habituated
Tipe
conflict-habituated boleh dibilang sebagai “partner in crime”. Tipe ini adalah
tipe pasangan yang jatuh dalam kebiasaan mengomel dan bertengkar tiada henti.
Kebiasaan ini menjadi semacam “jalan hidup” bagi mereka. Tak heran kalau secara
konstan mereka selalu menemukan ketidaksepakatan. Dengan kata lain, stimulasi
perbedaan individu dan konflik justru mendukung kebersamaan pasangan tersebut.
2.
Devitalized
Tipe
hubungan devitalized merupakan karakteristik pasangan yang sekali waktu dapat
mengembangkan rasa cinta, menikmati seks, dan satu sama lain saling menghargai.
Namun mereka cenderung merasakan kehampaan hidup perkawinan kendati tetap
berada bersama-sama. Soalnya, kebersamaan mereka lebih karena dorongan demi
anak atau citra mereka dalam komunitas masyarakat. Menariknya, pasangan tipe
ini tak merasa dirinya maupun perkawinannya tidak bahagia. Mereka berpikir
bahwa kondisi saat ini merupakan hal biasa setelah berlalunya tahun-tahun penuh
gairah. Ironisnya, tipe perkawinan inilah yang paling banyak ditemukan dalam
masyarakat mana pun.
3.
Passive-congenial
Pada
dasarnya pasangan tipe passive-congenial memiliki kesamaan dengan pasangan tipe
devitalized. Hanya saja kehampaan yang dirasakan telah berlangsung sejak awal
perkawinan. Boleh jadi karena perkawinan seperti ini biasanya berangkat dari
berbagai pertimbangan ekonomis atau status sosial dan bukannya relasi
emosional. Seperti halnya pasangan tipe devitalized yang minim keterlibatan
emosi, pasangan passive-congenial juga tidak terlalu berkonflik, namun kurang
puas menjalani perkawinannya. Dalam keseharian, pasangan-pasangan tipe ini
lebih sering saling menghindar dan bukannya saling peduli.
4.
Utilitarian
Berbeda
dengan tipe-tipe lain, tipe utilitarian lebih menekankan peran ketimbang
hubungan. Misalnya, peran sebagai ibu, sebagai ayah ataupun peran-peran lain.
Terdapat perbedaan sangat kontras bila dibandingkan dengan tipe vital dan total
yang bersifat intrinsik, yaitu mengutamakan relasi perkawinan itu sendiri.
5. Vital
Cirinya,
pasangan suami-istri terikat satu sama lain, terutama oleh relasi pribadi
antara yang satu dengan yang lain. Di dalam relasi tersebut, satu sama lain
saling peduli untuk memuaskan kebutuhan psikologis pihak lain. Mereka berdua
pun saling berbagi dalam melakukan berbagai aktivitas kendati masing-masing individu
memiliki identitas kepribadian yang kuat. Yang mengesankan, komunikasi mereka
mengandung kejujuran dan keterbukaan. Kalaupun mengalami konflik biasanya
lantaran ada hal-hal yang sangat penting. Untungnya, baik suami maupun istri
saling berupaya menyelesaikannya dengan cepat dan bijak. Tentu saja tipe ini
merupakan tipe relasi perkawinan yang paling memuaskan. Tak heran kalau tipe
ini paling sedikit persentasenya dalam masyarakat.
6. Total
Tipe ini
memiliki banyak kesamaan dengan tipe vital. Bedanya, pasangan ini sedemikian
saling menyatu hingga menjadi “sedaging” (one flesh). Mereka selalu dalam
kebersamaan secara total yang meminimalkan adanya pengalaman pribadi dan
konflik. Akan tetapi tidak seperti pasangan tipe devitalized, kesepakatan di
antara mereka biasanya dibangun demi hubungan itu sendiri. Sayangnya, tipe
perkawinan seperti ini sangat jarang.
C. Penyesuaian dan pertumbuhan dalam
perkawinan
Hirning dan
Hirning (1956) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan itu lebihkompleks
dibandingkan yang terlihat. Dua orang memasuki perkawinan harus menyesuaikan
satu sama lain dengan tingkatan yang berbeda-beda. Untuk tingkat organismik
mereka harus menyesuaikan diri dengan sensori, motor, emosional dan kapasitas
intelektual dan kebutuhan. Untuk tingkat kepribadian, masing-masing mereka
harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan, keterampilan, sikap, ketertarikan,
nilai-nilai, sifat, konsep ego, dan kepercayaan. Pasangan juga harus
menyesuaikan dengan lingkungan mereka, termasuk rumah tangga yang baru,
anak-anak, sanak keluarga, teman, dan pekerjaan.
Lasswell dan
Lasswell (1987) mengatakan bahwa konsep dari penyesuaianperkawinan adalah bahwa
dua individu belajar untuk saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan, dan
harapan.
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah dua orang memasuki
tahap perkawinan dan mulai membiasakan diri dengan situasi baru sebagai suami
istri yang saling menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan,kehidupan
keluarga, dan saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan.
Banyak
faktor sosial dan demografis yang ditemukan memiliki hubungan dengan
penyesuaian perkawinan (Dyer, 1983). Berikut ini beberapa hal yang mempengaruhi
penyesuaian perkawinan :
Usia
Udry dan Schoen (dalam Dyer,
1983)mengatakan bahwa penyesuaian pekawinan rendah apabila pasangan menikah
pada usia yang sangat muda, yaitu laki-laki di bawah 20 tahun dan wanita di
bawah 18 tahun. Mereka dihadapkan pada tuntutan dan beban seputar perkawinan,
dimana bisa menyebabkan rasa kecewa, berkecil hati, dan tidak bahagia.
Penelitian juga mengatakan bahwa dalam ketidakmatangan, cenderung untuk melihat
perkawinan dari segi romantismenya dan kurang persiapan untuk menerima tanggung
jawab dari perkawinan tersebut.
Tapi dalam
hal perbedaan usia, penelitian ditemukan tidak terlalu meyakinkan. Ada penelitian
menemukan bahwa akan lebih menguntungkan bagi pasangan yang memiliki usia yang
sama (Locke; Blode & Wolfe, dalam Dyer, 1983), namun pada penelitian lain
juga ditemukan bahwa usia yang berbeda tidak memiliki pengaruh yang signifikan
dalam penyesuaian pekawinan (Udry, Nelson & Nelson, dalam Dyer, 1983).
Agama
Hubungan
antara agama dan penyesuaianperkawinan sudah diselidiki sepanjang tahun.
Walaupun begitu, selalu ditemukan hasil yang berbeda-beda dan selalu tidak
konsisten. Terman (dalam Dyer, 1983) menyimpulkan bahwa latar belakang agama
dari pasangan bukan faktor yang berarti dalam kebahagiaan perkawinan. Pada
penelitian pernikahan beda agama (Christensen & Barber; Glenn, dalam Dyer,
1983) ditemukan bahwa pernikahan beda agama antara Katolik, Yahudi, dan
Protestan sedikit kurang bahagia dibandingkan pernikahan dengan agama yang sama
di ketiga agama tersebut.
Ras
Sejauh ini
tidak ada penelitian khusus penyesuaian perkawinan dimana perkawinan antar ras
sebagai variabelnya. Walaupun ada opini terkenal yang mengatakan bahwa
perkawinan antar ras penuh resiko, sebenarnya secara statistik sangat sedikit
yang mendukung pandangan ini (Udry, dalam Dyer, 1983). Penelitian yang
dilakukan Monahan (dalam Dyer, Universitas Sumatera Utara331983) pada
perkawinan antar ras di Iowa, ditemukan bahwa perkawinan antar kulit hitam dan
putih lebih stabil daripada perkawinan kulit hitam dan hitam; dia juga
menemukan bahwa perkawinan dengan suami kulit hitam dan istri kulit putih
memiliki rata-rata perceraian yang rendah dibandingkan dengan rata-rata
perceraian pada perkawinan kulit putih dan putih.
Dimana
perbedaan sosial dan kultur masih tetap ada dan larangan pada perkawinan antar
ras masih kuat, mereka berusaha untuk tahan menghadapi larangan dan berusaha
kuat untuk menghadapi sangsi yang ada dari kelompok ras mereka masing-masing
Pendidikan
Data dari
survei nasional mengatakan bahwa pendidikan tidak selamanya menjadi faktor yang
penting dalam penyesuaian perkawinan. Glenn dan Weaver (dalam Dyer, 1983)
menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara lamanya mengecap pendidikan
dengan kebahagiaan perkawinan.
Penelitian
terhadap perbedaan pendidikan pada pasangan dengan penyesuaian perkawinan belum
sepenuhnya jelas, karena ada pendapat yang mengatakan bahwa pasangan dengan tingkat
pendidikan yang sama akan lebih puas dengan perkawinannya dan hasil penelitian
yang lain juga mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara perbedaan tingkat
pendidikan suami istri dengan penyesuaianperkawinan (Terman; Burgess &
Wallin, dalam Dyer, 1983).
Keluarga
Pasangan
Salah satu
hal yang harus dihadapioleh pasangan yang baru menikah adalah bagaimana
mengatasi hubungan selanjutnya dengan orang tua dan sanak saudara setelah
menikah. Beberapa penelitian dalam hal saudara istri atau suami mengindikasikan
bahwa masalah ini lebih mempengaruhi wanita daripada pria (Duvall; Komorovsky,
dalam Dyer, 1983). Ibu mertua dan kakak ipar lebih cenderung sebagai masalah
dalam ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan abang ipar. Inti dalam
perselisihan biasanya menyangkut aktifitas dan peran wanita dalam rumah tangga.
D.
Perceraian dan pernikahan kembali
Menikah Kembali setelah perceraian mungkin menjadi keputusan yang
membingungkan untuk diambil. Karena orang akan mencoba untuk menghindari semua
kesalahan yang terjadi dalam perkawinan sebelumnya dan mereka tidak yakin
mereka bisa memperbaiki masalah yang dialami. Mereka biasanya kurang percaya
dalam diri mereka untuk memimpin pernikahan yang berhasil karena kegagalan lama
menghantui mereka dan membuat mereka ragu-ragu untuk mengambil
keputusan.Sebagai manusia, kita memang mempunyai daya tarik atau daya
ketertarikan yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi, semua hal yang telah
kita miliki dan nikmati untuk suatu periode tertentu akan kehilangan daya
tariknya.
Penelitian menunjukan bahwa penduduk lansia Amerika hampir akan berlipat
ganda pada tahun 2050, menurut laporan Pew Research. Seperti baby boomer
memasuki masa pensiun, perhatian ada siapa yang akan merawat mereka dengan
bertambahnya usia mereka. Secara tradisional, anak-anak telah menerima tanggung
jawab pengasuhan, tapi peran-peran pengasuhan menjadi kabur karena keluarga
lebih banyak terpengaruh oleh perceraian dan pernikahan kembali dibandingkan
dekade sebelumnya. Lawrence Ganong, seorang profesor dan co-kursi di Departemen
MU Pembangunan Manusia dan Studi Keluarga di Fakultas Ilmu Lingkungan Manusia
(HES), mempelajari bagaimana perceraian dan pernikahan kembali mempengaruhi
keyakinan tentang siapa yang harus merawat kerabat penuaan. Dia menemukan bahwa
kualitas hubungan, riwayat saling membantu, dan keputusan sumber daya
mempengaruhi ketersediaan tentang siapa yang peduli untuk orang tua dan orang
tua tiri.
Menikah Kembali setelah perceraian bisa menjadi kan pengalaman, tinggalkan
masa lalu dan berharap untuk masa depan yang lebih baik lagi dari pernikahan
sebelumnya.
E.
Alternatif selain pernikahan
Batasan usia untuk menikah kini semakin bergeser,
apalagi tingkat pendidikan dan kesibukan meniti karir juga ikut berperan dalam
memperpanjang batasan usia seorang untuk menikah. Keputusan untuk melajang
bukan lagi terpaksa, tetapi merupakan sebuah pilihan. Itulah sebabnya, banyak
pria dan perempuan yang memilih untuk tetap hidup melajang. Alasan yang paling
sering dikemukakan oleh seorang single adalah tidak ingin kebebasannya
dikekang. Apalagi jika mereka telah sekian lama menikmati kebebasan bagaikan
burung yang terbang bebas di angkasa. Jika hendak pergi, tidak perlu meminta
ijin dan menganggap pernikahan akan membelenggu kebebasan. Belum lagi jika
mendapatkan pasangan yang sangat posesif dan cemburu.
Banyak pria menempatkan pernikahan pada prioritas
kesekian, sedangkan karir lebih mendapat prioritas utama. Dengan hidup
melayang, mereka bisa lebih konsentrasi dan fokus pada pekerjaan, sehingga
promosi dan kenaikan jabatan lebih mudah diperoleh. Biasanya, pelajang lebih
bersedia untuk bekerja lembur dan tugas ke luar kota dalam jangka waktu yang
lama, dibandingkan karyawan yang telah menikah.
A.
Memilin
pasangan
Perkawinan adalah ikatan atau
komitmen emosional dan legal antara seorang pria dengan seorang wanita yang
terjalin dalam waktu yang panjang dan melibatkan aspek ekonomi, sosial,
tanggungjawab pasangan kedekatan fisik serta hubungan seksual (Regan, 2003;
Olson & Defrain, 2006; Secommbe & Warner, 2004)
1. Teori Psikodinamika
Psikodinamika adalah salah satu
aliran besar dari tiga aliran besar di Psikologi. Tokoh yang terkenal dari
aliran ini adalah Sigmund Freud, inti dari aliran ini adalah bahwa tingkah laku
dan kepribadian dipengaruhi oleh ketidaksadaran. Jadi, kita melakukan atau
bersikap sesuatu karena hal-hal yang secara tidak sadar ada di dalam diri kita.
Menurut teori ini, seseorang memilih pasangan karena
a) parent image, kita cenderung
memilih pasangan hidup yang seperti orang tua kita. Misalnya seorang perempuan
yang jatuh cinta pada laki-laki yang hampir mirip ayahnya, juga seorang
laki-laki yang menikah perempuan yang hampir mirip ibunya. Biasanya mirinya itu
tingkah laku, atau cara pemikiran.
b) ideal mate, kita memilih
pasangan berdasarkan kriteria pasangan ideal yang sudah ada di dalam diri kita.
biasanya setiap orang memiliki kriteria tertentu tentang pasangan ideal. nah,
misalnya saya mau menikah dengan orang yang suka warna biru, atau menurut kita
pasangan ideal itu adalah yang sholat subuh nya di masjid #eh.
2. Teori kebutuhan
Menurut teori ini, biasanya kita
mencari pasangan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup kita. Atau ada juga teori
kebutuhan komplementer, dimana hubungan pasangan itu bisa terjalin karena dua
orang yang merasa bisa saling memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Kebutuhan
hidup itu ga terbatas sama sandang, pangan, papan, tapi juga kenyamanan, kasih
sayang, perhatian, dll.
3. Teori Pertukaran
a. Pertukaran yang tradisional,
dimana pasangan melanjutkan hubungan karena percaya akan mendapatkan kembali
apa yang sudah diberikan pada pasangan. Jadi seseorang yakin akan mendapatkan
hal yang setimpal dari apa yang sudah ia berikan pada pasangannya.
b. Teori Keadilan, dimana
seseorang yakin dan percaya bahwa hubungan yang baik dan tepat akan
mengembalikan apa yang sudah diberikan dengan proporsi yang tepat.
4. Teori Proses Perkembangan
Ada faktor-faktor perkembangan
yang memengaruhi seseorang untuk memutuskan apakah pasangannya merupakan orang
yang tepat untuk menjadi pasangan hidup. a) apakah seseorang itu memenuhi
syarat untuk dijadikan pasangan hidup, b) keakraban dan kedekatan, c)
ketertarikan, d) homogami dan heterogami, kecenderungan atas homogami dan
heterogami tentunya menentukan siapa yang akan dijadikan pasangan hidup. e)
kesesuaian, apakah dua orang merasa sesuai dan serasi untuk hidup bersama. f)
proses penyaringan dan seleksi, seorang yang ingin dijadikan pasangan hidup
akan kita seleksi dan saring agar menemukan orang yang dianggap tepat.
5. Teori waktu dan tempat
Nah ini, pasangan hidup yang
tepat bisa jadi muncul di waktu dan tempat yang paling tepat. Sebaik apapaun,
atau secocok apapun seseorang dengan kriteria yang kita inginkan bisa jadi
orang itu tidak akan membuat kita merasa yakin bahwa ia lah pasangan yang
tepat. Tapi bisa jadi, seseorang yang biasa saja datang di waktu dan tempat
yang tepat membuat kita merasa ‘klik’ dan yakin ini dia!
6.Teori
Stimulus-Value-Role
hubungan yang serius biasanya
melewati tiga tahapan, pertama, dua orang yang saling tertarik karena
penampilan fisik, karena interaksi yang nyambung, reputasi, pakaian yang
dipakai. Pokoknya seseorang tertarik dengan orang lainnya karena hal-hal yang
terlihat dari luar.
kemudian, tahap kedua adalah
karena pasangan ini memiliki kesamaan value/nilai dalam memandang kehidupan.
memiliki visi dan misi hidup yang sama, kemauan untuk saling mengkompromikan
nilai tentang hidup, cara pandang akan politik, lingkungan, dll.
terakhir, tahapan role/peran.
pasangan mengevaluasi diri apakah mereka bisa melakukan dan berbagi peran
dengan baik antar satu sama lain. kalau ketiga tahapan ini berjalan dengan
baik, bisa jadi pasangan itu merupakan orang yang tepat. Atau kalau mau
menemukan orang yang tepat coba carilah orang yang cocok dan sesuai melewati
tiga tahapan ini bersama.
B. Hubungan dalam perkawinan
PENYESUAIAN DIRI
Dengan
mengamati relasi Anda dalam perkawinan untuk kemudian mencocokkannya dalam
tipe-tipe yang disebutkan di atas, bukan berarti kita lantas pesimis bila
ternyata tipe perkawinan kita cenderung rawan konflik. Justru sudah saatnya
kedua belah pihak introspeksi diri guna mengupayakan kebahagiaan perkawinan
yang telah mereka bina. Di antaranya Kesediaan menerima hal yang kurang
mengenakkan kesediaan menyesuaikan peran, menyesuaikan komunikasi saat konflik,
menyesuaikan diri dalam kehidupan seks, sekaligus keberanian mengantisipasi
perubahan-perubahan. Bukankah setiap orang pada dasarnya memiliki dinamika
tersendiri alias selalu berubah?
TIPE-TIPE PERKAWINAN
1.
Conflict-habituated
Tipe
conflict-habituated boleh dibilang sebagai “partner in crime”. Tipe ini adalah
tipe pasangan yang jatuh dalam kebiasaan mengomel dan bertengkar tiada henti.
Kebiasaan ini menjadi semacam “jalan hidup” bagi mereka. Tak heran kalau secara
konstan mereka selalu menemukan ketidaksepakatan. Dengan kata lain, stimulasi
perbedaan individu dan konflik justru mendukung kebersamaan pasangan tersebut.
2.
Devitalized
Tipe
hubungan devitalized merupakan karakteristik pasangan yang sekali waktu dapat
mengembangkan rasa cinta, menikmati seks, dan satu sama lain saling menghargai.
Namun mereka cenderung merasakan kehampaan hidup perkawinan kendati tetap
berada bersama-sama. Soalnya, kebersamaan mereka lebih karena dorongan demi
anak atau citra mereka dalam komunitas masyarakat. Menariknya, pasangan tipe
ini tak merasa dirinya maupun perkawinannya tidak bahagia. Mereka berpikir
bahwa kondisi saat ini merupakan hal biasa setelah berlalunya tahun-tahun penuh
gairah. Ironisnya, tipe perkawinan inilah yang paling banyak ditemukan dalam
masyarakat mana pun.
3.
Passive-congenial
Pada
dasarnya pasangan tipe passive-congenial memiliki kesamaan dengan pasangan tipe
devitalized. Hanya saja kehampaan yang dirasakan telah berlangsung sejak awal
perkawinan. Boleh jadi karena perkawinan seperti ini biasanya berangkat dari
berbagai pertimbangan ekonomis atau status sosial dan bukannya relasi
emosional. Seperti halnya pasangan tipe devitalized yang minim keterlibatan
emosi, pasangan passive-congenial juga tidak terlalu berkonflik, namun kurang
puas menjalani perkawinannya. Dalam keseharian, pasangan-pasangan tipe ini
lebih sering saling menghindar dan bukannya saling peduli.
4.
Utilitarian
Berbeda
dengan tipe-tipe lain, tipe utilitarian lebih menekankan peran ketimbang
hubungan. Misalnya, peran sebagai ibu, sebagai ayah ataupun peran-peran lain.
Terdapat perbedaan sangat kontras bila dibandingkan dengan tipe vital dan total
yang bersifat intrinsik, yaitu mengutamakan relasi perkawinan itu sendiri.
5. Vital
Cirinya,
pasangan suami-istri terikat satu sama lain, terutama oleh relasi pribadi
antara yang satu dengan yang lain. Di dalam relasi tersebut, satu sama lain
saling peduli untuk memuaskan kebutuhan psikologis pihak lain. Mereka berdua
pun saling berbagi dalam melakukan berbagai aktivitas kendati masing-masing individu
memiliki identitas kepribadian yang kuat. Yang mengesankan, komunikasi mereka
mengandung kejujuran dan keterbukaan. Kalaupun mengalami konflik biasanya
lantaran ada hal-hal yang sangat penting. Untungnya, baik suami maupun istri
saling berupaya menyelesaikannya dengan cepat dan bijak. Tentu saja tipe ini
merupakan tipe relasi perkawinan yang paling memuaskan. Tak heran kalau tipe
ini paling sedikit persentasenya dalam masyarakat.
6. Total
Tipe ini
memiliki banyak kesamaan dengan tipe vital. Bedanya, pasangan ini sedemikian
saling menyatu hingga menjadi “sedaging” (one flesh). Mereka selalu dalam
kebersamaan secara total yang meminimalkan adanya pengalaman pribadi dan
konflik. Akan tetapi tidak seperti pasangan tipe devitalized, kesepakatan di
antara mereka biasanya dibangun demi hubungan itu sendiri. Sayangnya, tipe
perkawinan seperti ini sangat jarang.
C. Penyesuaian dan pertumbuhan dalam
perkawinan
Hirning dan
Hirning (1956) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan itu lebihkompleks
dibandingkan yang terlihat. Dua orang memasuki perkawinan harus menyesuaikan
satu sama lain dengan tingkatan yang berbeda-beda. Untuk tingkat organismik
mereka harus menyesuaikan diri dengan sensori, motor, emosional dan kapasitas
intelektual dan kebutuhan. Untuk tingkat kepribadian, masing-masing mereka
harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan, keterampilan, sikap, ketertarikan,
nilai-nilai, sifat, konsep ego, dan kepercayaan. Pasangan juga harus
menyesuaikan dengan lingkungan mereka, termasuk rumah tangga yang baru,
anak-anak, sanak keluarga, teman, dan pekerjaan.
Lasswell dan
Lasswell (1987) mengatakan bahwa konsep dari penyesuaianperkawinan adalah bahwa
dua individu belajar untuk saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan, dan
harapan.
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah dua orang memasuki
tahap perkawinan dan mulai membiasakan diri dengan situasi baru sebagai suami
istri yang saling menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan,kehidupan
keluarga, dan saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan.
Banyak
faktor sosial dan demografis yang ditemukan memiliki hubungan dengan
penyesuaian perkawinan (Dyer, 1983). Berikut ini beberapa hal yang mempengaruhi
penyesuaian perkawinan :
Usia
Udry dan Schoen (dalam Dyer,
1983)mengatakan bahwa penyesuaian pekawinan rendah apabila pasangan menikah
pada usia yang sangat muda, yaitu laki-laki di bawah 20 tahun dan wanita di
bawah 18 tahun. Mereka dihadapkan pada tuntutan dan beban seputar perkawinan,
dimana bisa menyebabkan rasa kecewa, berkecil hati, dan tidak bahagia.
Penelitian juga mengatakan bahwa dalam ketidakmatangan, cenderung untuk melihat
perkawinan dari segi romantismenya dan kurang persiapan untuk menerima tanggung
jawab dari perkawinan tersebut.
Tapi dalam
hal perbedaan usia, penelitian ditemukan tidak terlalu meyakinkan. Ada penelitian
menemukan bahwa akan lebih menguntungkan bagi pasangan yang memiliki usia yang
sama (Locke; Blode & Wolfe, dalam Dyer, 1983), namun pada penelitian lain
juga ditemukan bahwa usia yang berbeda tidak memiliki pengaruh yang signifikan
dalam penyesuaian pekawinan (Udry, Nelson & Nelson, dalam Dyer, 1983).
Agama
Hubungan
antara agama dan penyesuaianperkawinan sudah diselidiki sepanjang tahun.
Walaupun begitu, selalu ditemukan hasil yang berbeda-beda dan selalu tidak
konsisten. Terman (dalam Dyer, 1983) menyimpulkan bahwa latar belakang agama
dari pasangan bukan faktor yang berarti dalam kebahagiaan perkawinan. Pada
penelitian pernikahan beda agama (Christensen & Barber; Glenn, dalam Dyer,
1983) ditemukan bahwa pernikahan beda agama antara Katolik, Yahudi, dan
Protestan sedikit kurang bahagia dibandingkan pernikahan dengan agama yang sama
di ketiga agama tersebut.
Ras
Sejauh ini
tidak ada penelitian khusus penyesuaian perkawinan dimana perkawinan antar ras
sebagai variabelnya. Walaupun ada opini terkenal yang mengatakan bahwa
perkawinan antar ras penuh resiko, sebenarnya secara statistik sangat sedikit
yang mendukung pandangan ini (Udry, dalam Dyer, 1983). Penelitian yang
dilakukan Monahan (dalam Dyer, Universitas Sumatera Utara331983) pada
perkawinan antar ras di Iowa, ditemukan bahwa perkawinan antar kulit hitam dan
putih lebih stabil daripada perkawinan kulit hitam dan hitam; dia juga
menemukan bahwa perkawinan dengan suami kulit hitam dan istri kulit putih
memiliki rata-rata perceraian yang rendah dibandingkan dengan rata-rata
perceraian pada perkawinan kulit putih dan putih.
Dimana
perbedaan sosial dan kultur masih tetap ada dan larangan pada perkawinan antar
ras masih kuat, mereka berusaha untuk tahan menghadapi larangan dan berusaha
kuat untuk menghadapi sangsi yang ada dari kelompok ras mereka masing-masing
Pendidikan
Data dari
survei nasional mengatakan bahwa pendidikan tidak selamanya menjadi faktor yang
penting dalam penyesuaian perkawinan. Glenn dan Weaver (dalam Dyer, 1983)
menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara lamanya mengecap pendidikan
dengan kebahagiaan perkawinan.
Penelitian
terhadap perbedaan pendidikan pada pasangan dengan penyesuaian perkawinan belum
sepenuhnya jelas, karena ada pendapat yang mengatakan bahwa pasangan dengan tingkat
pendidikan yang sama akan lebih puas dengan perkawinannya dan hasil penelitian
yang lain juga mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara perbedaan tingkat
pendidikan suami istri dengan penyesuaianperkawinan (Terman; Burgess &
Wallin, dalam Dyer, 1983).
Keluarga
Pasangan
Salah satu
hal yang harus dihadapioleh pasangan yang baru menikah adalah bagaimana
mengatasi hubungan selanjutnya dengan orang tua dan sanak saudara setelah
menikah. Beberapa penelitian dalam hal saudara istri atau suami mengindikasikan
bahwa masalah ini lebih mempengaruhi wanita daripada pria (Duvall; Komorovsky,
dalam Dyer, 1983). Ibu mertua dan kakak ipar lebih cenderung sebagai masalah
dalam ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan abang ipar. Inti dalam
perselisihan biasanya menyangkut aktifitas dan peran wanita dalam rumah tangga.
D.
Perceraian dan pernikahan kembali
Menikah Kembali setelah perceraian mungkin menjadi keputusan yang
membingungkan untuk diambil. Karena orang akan mencoba untuk menghindari semua
kesalahan yang terjadi dalam perkawinan sebelumnya dan mereka tidak yakin
mereka bisa memperbaiki masalah yang dialami. Mereka biasanya kurang percaya
dalam diri mereka untuk memimpin pernikahan yang berhasil karena kegagalan lama
menghantui mereka dan membuat mereka ragu-ragu untuk mengambil
keputusan.Sebagai manusia, kita memang mempunyai daya tarik atau daya
ketertarikan yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi, semua hal yang telah
kita miliki dan nikmati untuk suatu periode tertentu akan kehilangan daya
tariknya.
Penelitian menunjukan bahwa penduduk lansia Amerika hampir akan berlipat
ganda pada tahun 2050, menurut laporan Pew Research. Seperti baby boomer
memasuki masa pensiun, perhatian ada siapa yang akan merawat mereka dengan
bertambahnya usia mereka. Secara tradisional, anak-anak telah menerima tanggung
jawab pengasuhan, tapi peran-peran pengasuhan menjadi kabur karena keluarga
lebih banyak terpengaruh oleh perceraian dan pernikahan kembali dibandingkan
dekade sebelumnya. Lawrence Ganong, seorang profesor dan co-kursi di Departemen
MU Pembangunan Manusia dan Studi Keluarga di Fakultas Ilmu Lingkungan Manusia
(HES), mempelajari bagaimana perceraian dan pernikahan kembali mempengaruhi
keyakinan tentang siapa yang harus merawat kerabat penuaan. Dia menemukan bahwa
kualitas hubungan, riwayat saling membantu, dan keputusan sumber daya
mempengaruhi ketersediaan tentang siapa yang peduli untuk orang tua dan orang
tua tiri.
Menikah Kembali setelah perceraian bisa menjadi kan pengalaman, tinggalkan
masa lalu dan berharap untuk masa depan yang lebih baik lagi dari pernikahan
sebelumnya.
E.
Alternatif selain pernikahan
Batasan usia untuk menikah kini semakin bergeser,
apalagi tingkat pendidikan dan kesibukan meniti karir juga ikut berperan dalam
memperpanjang batasan usia seorang untuk menikah. Keputusan untuk melajang
bukan lagi terpaksa, tetapi merupakan sebuah pilihan. Itulah sebabnya, banyak
pria dan perempuan yang memilih untuk tetap hidup melajang. Alasan yang paling
sering dikemukakan oleh seorang single adalah tidak ingin kebebasannya
dikekang. Apalagi jika mereka telah sekian lama menikmati kebebasan bagaikan
burung yang terbang bebas di angkasa. Jika hendak pergi, tidak perlu meminta
ijin dan menganggap pernikahan akan membelenggu kebebasan. Belum lagi jika
mendapatkan pasangan yang sangat posesif dan cemburu.
Banyak pria menempatkan pernikahan pada prioritas
kesekian, sedangkan karir lebih mendapat prioritas utama. Dengan hidup
melayang, mereka bisa lebih konsentrasi dan fokus pada pekerjaan, sehingga
promosi dan kenaikan jabatan lebih mudah diperoleh. Biasanya, pelajang lebih
bersedia untuk bekerja lembur dan tugas ke luar kota dalam jangka waktu yang
lama, dibandingkan karyawan yang telah menikah.
DAFTAR PUSTAKA