Sabtu, 21 Mei 2016

Self-directed changes

TUGAS KESEHATAN MENTAL MINGGU ke 14

“SELF-DIRECTED CHANGES''


http://baak.gunadarma.ac.id/


 NAMA: YOLANDA EKA PUTRI
KELAS: 2pa06
NPM: 1C514447


FAKULTAS PSIKOLOGI


UNIVERSITAS GUNADARMA

A.  Konsep dan Penerapan Self-directed changes
Menurut Gibbons (2002), self directed learning adalah peningkatan pengetahuan, keahlian, prestasi, dan mengembangkan diri dimana individu menggunakan banyak metode dalam banyak situasi dalam setiap waktu. Self directed learning diperlukan karena dapat memberikan siswa kemampuan untuk mengerjakan tugas, untuk mengkombinasikan perkembangan kemampuan dengan perkembangan karakter dan mempersiapkan siswa untuk mempelajari seluruh kehidupan mereka. Self directed learning meliputi bagaimana siswa belajar setiap harinya, bagaimana siswa dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang cepat berubah, dan bagaimana siswa dapat mengambil inisiatif sendiri ketika suatu kesempatan tidak terjadi atau tidak muncul.
Knowles (dalam Jennings, 1975) menambahkan bahwa self directed learningadalah sebuah proses dimana sebuah dimana individu mengambil inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain, dan proses dalam self-directed learningini dilakukan dengan menyadari kebutuhan sendiri dalam belajar, mengatur tujuan pribadi, membuat keputusan pada sumber dan strategi belajar dan menilai hasil.
Menurut Long (dalam Bath & Kamath, 2005) self directed learning adalah proses mental yang biasanya disertai dan didukung dengan aktivitas perilaku yang meliputi identifikasi dan pencarian informasi. Dalam self directed learning, pelajar secara sengaja menerima tanggung jawab untuk membuat keputusan tentang tujuan dan usaha mereka sehingga mereka sendiri yang menjadi agen perubahan dalam belajar.
Teori Guglielmino (dalam Shiong,dkk, 1977) mengemukakan bahwa self directed learning dapat terjadi dalam banyak situasi yang bervariasi, mulai dari ruangan kelas yang berfokus pada guru secara langsung (teacher directed) menjadi belajar dengan perencanaan siswa sendiri (self planned) dan dilakukan sendiri (self conducted). Guglielmino (1977) lebih lanjut menyatakan tentang karakteristik yang dimiliki oleh pelajar, yakni sikap, nilai, kepercayaan, dan kemampuan yang akhirnya menentukan apakah self directed learning terjadi pada suatu situasi belajar.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa self directed learning adalah peningkatan pengetahuan, keahlian, prestasi, dan pengembangkan diri individu yang diawali dengan inisiatif sendiri dengan belajar perencanaan belajar sendiri (self planned) dan dilakukan sendiri (self conducted), menyadari kebutuhan belajar, tujuan belajar, membuat strategi belajar, menilai hasil belajar, serta memiliki tanggung jawab sendiri menjadi agen perubahan dalam belajar.
B.   Konsep dan Penerapan Self-directed Changes
a.       Meningkatkan kontrol diri: Mendasarkan diri pada kesadaran bahwa pada setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan kondisi yang dimiliki setiap manusia.
b.      Menetapkan tujuan: Untuk menjaga individu agar tetap tertuju pada proses pembelajaran, dalam arti dapat mengetahui dan mampu secara mandiri menetapkan mengenai apa yang ingin dipelajari dalam mencapai kesehatan mental, serta tahu akan kemana tujuan hidupnya, cakap dalam mengambil keputusan dan mampu berpartisipasi di masyarakat dan akan mampu mengarahkan dirinya.
c.       Pencatatan perilaku: Menguatkan perilaku ulang kalau individu merasa bisa mengambil manfaat dari perilaku yang pernah dilakukan sebelumnya, kemungkinan lain yang bisa menjadikan seseorang mengulang perilaku sebelumnya karena merasa senang dengan apa yang pernah dilakukan.
d.      Menyaring anteseden perilaku: Bisa membagi perilaku sasaran ke dalam perubahan, serta membantu individu agar lebih siap dalam mempelajari perilaku tersebut. Pemahaman akan anteseden perilaku membantu individu agar dapat dengan tepat memilih nilai-nilai dan merencanakan strategi.
e.       Menyusun konsekuensi yang efektif: Pemahaman dalam arti sehat mental dapat menentukan perubahan pada individu dalam melakukan mobilitas untuk melakukan segala sesuatu aktifitas –aktifitas yang dilakukan oleh manusia, dalam menanggapi stimulus lingkungan, yang meliputi aktivitas motoris, emosional,dan kognitif dalam mencapai kematangan mental.
f.       Menerapkan pencana intervens: Membawa perubahan, tentunya pada perubahan yang lebih baik. Dalam arti pemahaman nilai-nilai, karakter / watak, dan cara cara berperilaku secara individual.
g.       Evaluasi: Faktor yang penting untuk mencapai kematangan pribadi, sedangkan salah satu faktor penting untuk mengetahui keefektivan adalah evaluasi baik terhadap proses maupun hasil pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

https://ihdinakarima.wordpress.com/2015/06/01/self-directed-changes/
http://ipulord.blogspot.co.id/2012/04/self-directed-changes.html




Sabtu, 14 Mei 2016

“PEKERJAAN DAN WAKTU LUANG''

TUGAS KESEHATAN MENTAL MINGGU ke 13

“PEKERJAAN DAN WAKTU LUANG''




http://baak.gunadarma.ac.id/


 NAMA: YOLANDA EKA PUTRI
KELAS: 2pa06
NPM: 1C514447


FAKULTAS PSIKOLOGI


UNIVERSITAS GUNADARMA

A. Penyesuaian diri dalam pekerjaan
Dari segi pandangan psikologi, penyesuaian diri memiliki banyak arti seperti pemuasan kebutuhan, ketrampilan dalam menangani frustasi atau konflik, ketenangan pikiran atau jiwa, atau bahkan pembentukan simtonsimton. (Yustinus Semiun, 2006:36).
Penyesuaian diri adalah cara individu atau khusus organisasi dalam bereaksi terhadap tuntutan-tuntutan dari dalam atau situasi-situasi dari luar (Yustinus Semiun, 2006:37). Menurut Musthafa Fahmy, (1982:14), penyesuaian diri dalam lingkungan kerja adalah proses dinamika yang bertujuan untuk mengubah perilaku hidup agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara dirinya dan lingkungan kerja. Berdasarkan pengertian tersebut dapatlah kita memberikan batasan kepada fakta tersebut dengan kemampuan untuk membuat hubungan-hubungan yang menyenangkan antara manusia dan lingkungannya.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri dalam lingkungan kerja adalah suatu cara individu dalam bereaksi terhadap tuntutan atau situasi dari dalam maupun dari luar agar lebih sesuai dengan dirinya dan lingkungan kerja. Penyesuaian diri adalah relatif karena tidak ada orang yang dapat menyesuaikan diri secara sempurna. Penyesuaian diri itu harus dinilai berdasarkan kapasitas individu untuk mengubah dan menanggulangi tuntutan yang dihadapi dan kapasitas ini berbeda-beda menurut kepribadian dan tingkat perkembangan.
Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik adalah orang yang memiliki respon-respon yang matang, efisien, memuaskan, dan sehat. Sebaliknya, orang yang neurotik adalah orang yang sangat tidak efisienefisien dan tidak pernah menangani tugas-tugas secara lengkap (Yustinus Semiun, 2006:37).
Singkatnya, meskipun memiliki kekurangan-kekurangan kepribadian, orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik dapat bereaksi secara efektif terhadap situasi-situasi yang berbeda, dapat memecahkan konflikkonflik, frustasi-frustasi dan masalah-masalah tanpa menggunakan tingkah laku simtomatik.
Kriteria penyesuaian diri yang baik adalah pengendalian diri sendiri yang berarti orang mengatur implus-implus, pikiran-pikiran, kebiasaankebiasaan, emosi-emosi dan tingkah laku berkaitan dengan prinsip-prinsip yang dikenakan pada diri sendiri atau tuntutan-tuntutan yang dikenakan oleh masyarakat (Yustinus Semiun, 2006:42).Penyesuaian diri yang baik juga mengandung suatu tingkat pengusaan, yaitu kemampuan untuk merencanakan dan mengatur respon-respon pribadi sedemikian rupa sehingga konflik-konflik, kesulitan-kesulitan, dan frustasi-frustasi akan hilang dengan munculnya tingkah laku yang efisien atau yang menguasai. Istilah tersebut meliputi menguasai diri sendiri sehingga dorongan-dorongan, emosi–emosi, dan kebiasaan–kebiasaan dapat dikendalikan, juga berarti menguasai lingkungan yaitu kemampuan untuk menangani kenyataan secara sehat dan adekuat dan menggunakan lingkungan orang-orang dan peristiwa-peristiwa dalam cara yang menyebabkan individu dapat menyesuaiakan diri. Seperti dikatakan oleh seorang penulis, apabila kebutuhan untuk menguasai adalah sama sekali atau untuk sebagian terbesar gagal dalam jangka waktu yang lama, maka individu pasti tidak dapat menyesuaiakan diri. (Yustinus Semiun, 2006:35-36).


B.  Waktu luang
Definisi Waktu Luang

Dalam bahasa Inggris waktu luang dikenal dengan sebutan leisure. Kata leisure sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu licere yang berarti diizinkan (To be Permited) atau menjadi bebas (To be Free). Kata lain dari leisure adalah loisir yang berasal dari bahasa Perancis yang artinya waktu
luang (Free Time), George Torkildsen (Januarius Anggoa, 2011).

Berdasarkan teori dari George Torkildsen dalam bukunya yang berjudul leisure and recreation management (Januarius Anggoa, 2011) definisi berkaitan dengan leisure antara lain:
a) Waktu luang sebagai waktu (leisure as time)
Waktu luang digambarkan sebagai waktu senggang setelah segala kebutuhan yang mudah telah dilakukan. Yang mana ada waktu lebih yang dimiliki untuk melakukan segala hal sesuai dengan keinginan yang bersifat positif. Pernyataan ini didukung oleh Brightbill yang beranggapan bahwa waktu luang erat kaitannya dengan kaitannya dengan kategori discretionary time, yaitu waktu yang digunakan menurut pemilihan dan penilaian kita sendiri.
b) Waktu luang sebagai aktivitas (leisure as activity)

Waktu luang terbentuk dari segala kegiatan bersifat mengajar dan
menghibur pernyataan ini didasarkan pada pengakuan dari pihak The International Group of the Social Science of Leisure, menyatakan bahwa:
“ waktu luang berisikan berbagai macam kegiatan yang mana seseorang akan mengikuti keinginannya sendiri baik untuk beristirahat, menghibur diri sendiri, menambah pengetahuan atau mengembangkan keterampilannya secara objektif atau untuk meningkatkan keikutsertaan
dalam bermasyarakat.”

c) Waktu luang sebagai suasana hati atau mental yang positif (leisure as an end in itself or a state of being)
Pieper beranggapan bahwa:“Waktu luang harus dimengerti sebagai hal yang berhubungan dengan kejiwaan dan sikap yang berhubungan dengan hal-hal keagamaan, hal ini bukan dikarenakan oleh faktor-faktor yang datang dari luar. Hal ini juga bukan merupakan hasil dari waktu senggang, liburan, akhir pekan, atau liburan panjang.
d) Waktu luang sebagai sesuatu yang memiliki arti luas (leisure as an all embracing)

Menurut Dumadezirer, waktu luang adalah relaksasi, hiburan, dan pengembangan diri. Dalam ketiga aspek tersebut, mereka akan menemukan kesembuhan dari rasa lelah, pelepasan dari rasa bosan, dan kebebasan dari hal-hal yang bersifat menghasilkan. Dengan kata lain, waktu luang merupakan ekspresi dari seluruh aspirasi manusia dalam mencari kebahagiaan, berhubungan dengan tugas baru, etnik baru, kebijakan baru, dan kebudayaan baru.
kebudayaan baru.

e) Waktu luang sebagai suatu cara untuk hidup (leisure as a way of living)
Seperti yang dijelaskan oleh Goodale dan Godbye dalam buku The Evolution Of Leisure: “Waktu luang adalah suatu kehidupan yang bebas dari tekanan-tekanan yang berasal dari luar kebudayaan seseorang dan lingkungannya sehingga mampu untuk bertindak sesuai rasa kasih yang tak terelakkan yang bersifat menyenangkan, pantas, dan menyediakan sebuah dasar keyakinan”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Soetarlinah Sukadji (Triatmoko, 2007) yang melihat arti istilah waktu luang dari 3 dimensi, yaitu:
a. Dilihat dari dimensi waktu, waktu luang dilihat sebagai waktu yang tidak digunakan untuk bekerja mencari nafkah, melaksanakan kewajiban, dan mempertahankan hidup.

b. Dari segi cara pengisian, waktu luang adalah waktu yang dapat diisi dengan kegiatan pilihan sendiri atau waktu yang digunakan dan dimanfaatkan sesuka hati.
c. Dari sisi fungsi, waktu luang adalah waktu yang dimanfaatkan sebagai sarana mengembangkan potensi, meningkatkan mutu pribadi, kegiatan terapeutik bagi yang mengalami gangguan emosi, sebagai selingan hiburan, sarana rekreasi, sebagai kompensasi pekerjaan yang kurang menyenangkan, atau sebagai kegiatan menghindari sesuatu.

Dengan banyaknya definisi waktu luang, dapat disimpulkan bahwa waktu luang adalah waktu yang mempunyai posisi bebas penggunaannya dan 13 waktu tersebut berada diluar kegiatan rutin sehari-hari sehingga dapat dimanfaatkan secara positif guna meningkatkan produktifitas hidup yang efektif dan pengisian waktu luang dapat diisi dengan berbagai macam kegiatan yang mana seseorang akan mengikuti keinginannya sendiri baik untuk beristirahat, menghibur diri sendiri, menambah pengetahuan atau mengembangkan keterampilannya secara objektif.
DAFTAR PUSTAKA


Kamis, 05 Mei 2016

''PEKERJAAN DAN WAKTU LUANG''

TUGAS KESEHATAN MENTAL MINGGU ke 12

“PEKERJAAN DAN WAKTU LUANG''


http://baak.gunadarma.ac.id/


 NAMA: YOLANDA EKA PUTRI
KELAS: 2pa06
NPM: 1C514447


FAKULTAS PSIKOLOGI


UNIVERSITAS GUNADARMA



A.    MENGUBAH SIKAP TERHADAP PEKERJAAN
Pekerjaan dinilai sebagai kegiatan manusia yang diarahkan untuk kemajuan manusia, baik kemajuan rohani maupun jasmani. Pekerjaan memerlukan pemikiran yang sadar sehingga bisa dengan bebas dapat mengarahkan kegiatannya kepada suatu tujuan tertentu. Dan tujuan yang dicari dalam pekerjaan yaitu menjadikan pekerja menjadi “baik”,, baik disini maksudnya adalah menjadikan pekerja lebih terpenuhi kebutuhan hidupnya an keluarganya, dan mereka menghindari aktifitas mereka yang menjadikan mereka “buruk”. Dan disini atasan  pun berperan penting dalam mengubah sikap karyawan mereka agar dapat bekerja lebih keras dan mencapai kinerja pekerjaan yang lebih tinggi. Karyawan diusahakan supaya menyukai pekerjaan yang ia dapatkan agar dapat menghasilkan kinerja yang baik. Manajer dalam mengubah sikap karyawan juga harus memiliki kemampuan yang tepat, misalnya diberi bonus jika bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Diberikan reward dan punishment kepada karyawan tersebut, sehingga memunculkan sikap take and give.
Yang dicari dalam pekerjaan adalah kenikmatan dalam bekerja, kenyamanan dalam bekerja dan kepuasan kerja. Dimana bagian dari sebuah perencanaan besar atau bahwa pekerjaan itu menuju proses terwujudnya suatu yang besar. Dan ada beberapa aspek untuk melanjutkan hidup seperti:
  1. Mencari uang, hal ini untuk menafkahi hidup dan nilai pertama yg di cari dalam berkerja
  2. Pengembangan diri, tabiat manusia untuk ingin berkembang menjadi lebih baik.
  3. Mencari teman/sarana bersosialisasi, Manusia adalah makhluk sosial yang perlu untuk bersosialisasi.
  4. Mencari kebanggaan/kehormatan diri, Hal lain yang dicari oleh orang dengan bekerja adalah kebanggaan dan kehormatan diri.

B.     PROSES DALAM MEMILIH PEKERJAAN
Proses perkembangan dalam pemilihan pekerjaan bagi individu dijelaskan oleh Donald Super. Perkembangan pemilihan karier pekerjaan dibagi menjadi lima tahap, yaitu :
  • Cristalization
Individu berusaha mencari berbagai bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan formal dan nonformal untuk persiapan masa depan hidupnya.
  • Spesification
Individu akan meneruskan pendidikannya pada jenjang khusus yang sesuai dengan minat-bakatnya. Masa spesifikasi ini lebih mengarah pada jalur pendidikan yang menjurus pada taraf professional atau keahlian.
  • Implementation
Individu mulai menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh pada masa sebelumnya, secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan bidang keahlian atau profesi nya. Misalnya setelah ia lulus dalam pendidikan psikologi nya ia berprofesi sebagai seorang psikolog.
  • Stabilization
Individu menekuni bidang profesinya sampai benar-benar ahli di bidangnya sehingga individu dapat mencapai prestasi puncak. Taraf ini ditandai dengan prestasi individu menduduki posisi penting, misalnya direktur perusahaan,dsb.
  • Consolidation
Setelah mencapai puncak karier, individu mulai memikirkan kembali sesuatu yang telah dilakukan selama ini baik yang berhasil maupun yang gagal.

C.    MEMEILIH PEKERJAAN YANG COCOK
Dalam memilih pekerjaan yang cocok dibutuhkan tes psikotes agar calon pekerja tidak salah dalam mengambil pekerjaan. Tes psikotes disini juga akan menguntungkan kedua belah pihak, seleksi yang kurang tepat akan menyebabkan kerugian besar baik karyawan maupun perusahaan yang bersangkutan.
Dari sisi pegawai, jika kita terseleksi dalam pekerjaan yang kurang cocok dengan potensi psikologis yang kita miliki, akan timbul ketidaknyamanan dalam bekerja, kurang termotivasi, bahkan dapat enimbulkan stress kerja, yang pada akhirnya membuat kita keluar dari pekerjaan tersebut. Oleh sebab itu kita membutuhkan psikotes untuk melihat sejauh mana potensi psikologis kita agar tidak salah memilih pekerjaan.
Sedangkan dari sisi perusahaan, menemukan orang yang tepat merupakan upaya yang sangat sulit yang selalu dihadapi. Dari sisi perusahaan, biaya seleksi dan pelatihan yang dibutuhkan akan sangat mahal, tidak efisien, menurunkan motivasi, serta masih ditambah biaya untuk seleksi dan pelatihan orang yang akan menggantikan karyawan tersebut. Oleh sebab itu dari proses seleksi perusahaan mengadakan tes psikotes untuk melihat potensi psikologis dan kepribadian sang calon karyawan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA



Perilaku Dan Manajemen Organisasi. Penerbit : Erlangga. Jakarta

Dariyo, Agus. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda.

Oktora, P.S. Pintar Mencari Dan Mendapatkan Pekerjaan. Penerbit : Visimedia




Sabtu, 23 April 2016

''CINTA DAN PERKAWINAN''

TUGAS KESEHATAN MENTAL MINGGU ke 10

“CINTA DAN PERKAWINAN''



http://baak.gunadarma.ac.id/


 NAMA: YOLANDA EKA PUTRI
KELAS: 2pa06
NPM: 1C514447


FAKULTAS PSIKOLOGI


UNIVERSITAS GUNADARMA




A.  Memilin pasangan

Perkawinan adalah ikatan atau komitmen emosional dan legal antara seorang pria dengan seorang wanita yang terjalin dalam waktu yang panjang dan melibatkan aspek ekonomi, sosial, tanggungjawab pasangan kedekatan fisik serta hubungan seksual (Regan, 2003; Olson & Defrain, 2006; Secommbe & Warner, 2004)

1. Teori Psikodinamika
Psikodinamika adalah salah satu aliran besar dari tiga aliran besar di Psikologi. Tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah Sigmund Freud, inti dari aliran ini adalah bahwa tingkah laku dan kepribadian dipengaruhi oleh ketidaksadaran. Jadi, kita melakukan atau bersikap sesuatu karena hal-hal yang secara tidak sadar ada di dalam diri kita. Menurut teori ini, seseorang memilih pasangan karena
a) parent image, kita cenderung memilih pasangan hidup yang seperti orang tua kita. Misalnya seorang perempuan yang jatuh cinta pada laki-laki yang hampir mirip ayahnya, juga seorang laki-laki yang menikah perempuan yang hampir mirip ibunya. Biasanya mirinya itu tingkah laku, atau cara pemikiran.
b) ideal mate, kita memilih pasangan berdasarkan kriteria pasangan ideal yang sudah ada di dalam diri kita. biasanya setiap orang memiliki kriteria tertentu tentang pasangan ideal. nah, misalnya saya mau menikah dengan orang yang suka warna biru, atau menurut kita pasangan ideal itu adalah yang sholat subuh nya di masjid #eh. 
2. Teori kebutuhan
Menurut teori ini, biasanya kita mencari pasangan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup kita. Atau ada juga teori kebutuhan komplementer, dimana hubungan pasangan itu bisa terjalin karena dua orang yang merasa bisa saling memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Kebutuhan hidup itu ga terbatas sama sandang, pangan, papan, tapi juga kenyamanan, kasih sayang, perhatian, dll.
3. Teori Pertukaran 
a. Pertukaran yang tradisional, dimana pasangan melanjutkan hubungan karena percaya akan mendapatkan kembali apa yang sudah diberikan pada pasangan. Jadi seseorang yakin akan mendapatkan hal yang setimpal dari apa yang sudah ia berikan pada pasangannya. 
b. Teori Keadilan, dimana seseorang yakin dan percaya bahwa hubungan yang baik dan tepat akan mengembalikan apa yang sudah diberikan dengan proporsi yang tepat. 
4. Teori Proses Perkembangan
Ada faktor-faktor perkembangan yang memengaruhi seseorang untuk memutuskan apakah pasangannya merupakan orang yang tepat untuk menjadi pasangan hidup. a) apakah seseorang itu memenuhi syarat untuk dijadikan pasangan hidup, b) keakraban dan kedekatan, c) ketertarikan, d) homogami dan heterogami, kecenderungan atas homogami dan heterogami tentunya menentukan siapa yang akan dijadikan pasangan hidup. e) kesesuaian, apakah dua orang merasa sesuai dan serasi untuk hidup bersama. f) proses penyaringan dan seleksi, seorang yang ingin dijadikan pasangan hidup akan kita seleksi dan saring agar menemukan orang yang dianggap tepat. 
5. Teori waktu dan tempat
Nah ini, pasangan hidup yang tepat bisa jadi muncul di waktu dan tempat yang paling tepat. Sebaik apapaun, atau secocok apapun seseorang dengan kriteria yang kita inginkan bisa jadi orang itu tidak akan membuat kita merasa yakin bahwa ia lah pasangan yang tepat. Tapi bisa jadi, seseorang yang biasa saja datang di waktu dan tempat yang tepat membuat kita merasa ‘klik’ dan yakin ini dia!
6.Teori Stimulus-Value-Role 
hubungan yang serius biasanya melewati tiga tahapan, pertama, dua orang yang saling tertarik karena penampilan fisik, karena interaksi yang nyambung, reputasi, pakaian yang dipakai. Pokoknya seseorang tertarik dengan orang lainnya karena hal-hal yang terlihat dari luar.
kemudian, tahap kedua adalah karena pasangan ini memiliki kesamaan value/nilai dalam memandang kehidupan. memiliki visi dan misi hidup yang sama, kemauan untuk saling mengkompromikan nilai tentang hidup, cara pandang akan politik, lingkungan, dll. 
terakhir, tahapan role/peran. pasangan mengevaluasi diri apakah mereka bisa melakukan dan berbagi peran dengan baik antar satu sama lain. kalau ketiga tahapan ini berjalan dengan baik, bisa jadi pasangan itu merupakan orang yang tepat. Atau kalau mau menemukan orang yang tepat coba carilah orang yang cocok dan sesuai melewati tiga tahapan ini bersama. 


B.  Hubungan dalam perkawinan

PENYESUAIAN DIRI

Dengan mengamati relasi Anda dalam perkawinan untuk kemudian mencocokkannya dalam tipe-tipe yang disebutkan di atas, bukan berarti kita lantas pesimis bila ternyata tipe perkawinan kita cenderung rawan konflik. Justru sudah saatnya kedua belah pihak introspeksi diri guna mengupayakan kebahagiaan perkawinan yang telah mereka bina. Di antaranya Kesediaan menerima hal yang kurang mengenakkan kesediaan menyesuaikan peran, menyesuaikan komunikasi saat konflik, menyesuaikan diri dalam kehidupan seks, sekaligus keberanian mengantisipasi perubahan-perubahan. Bukankah setiap orang pada dasarnya memiliki dinamika tersendiri alias selalu berubah?

TIPE-TIPE PERKAWINAN

1. Conflict-habituated
Tipe conflict-habituated boleh dibilang sebagai “partner in crime”. Tipe ini adalah tipe pasangan yang jatuh dalam kebiasaan mengomel dan bertengkar tiada henti. Kebiasaan ini menjadi semacam “jalan hidup” bagi mereka. Tak heran kalau secara konstan mereka selalu menemukan ketidaksepakatan. Dengan kata lain, stimulasi perbedaan individu dan konflik justru mendukung kebersamaan pasangan tersebut.

2. Devitalized

Tipe hubungan devitalized merupakan karakteristik pasangan yang sekali waktu dapat mengembangkan rasa cinta, menikmati seks, dan satu sama lain saling menghargai. Namun mereka cenderung merasakan kehampaan hidup perkawinan kendati tetap berada bersama-sama. Soalnya, kebersamaan mereka lebih karena dorongan demi anak atau citra mereka dalam komunitas masyarakat. Menariknya, pasangan tipe ini tak merasa dirinya maupun perkawinannya tidak bahagia. Mereka berpikir bahwa kondisi saat ini merupakan hal biasa setelah berlalunya tahun-tahun penuh gairah. Ironisnya, tipe perkawinan inilah yang paling banyak ditemukan dalam masyarakat mana pun.

3. Passive-congenial

Pada dasarnya pasangan tipe passive-congenial memiliki kesamaan dengan pasangan tipe devitalized. Hanya saja kehampaan yang dirasakan telah berlangsung sejak awal perkawinan. Boleh jadi karena perkawinan seperti ini biasanya berangkat dari berbagai pertimbangan ekonomis atau status sosial dan bukannya relasi emosional. Seperti halnya pasangan tipe devitalized yang minim keterlibatan emosi, pasangan passive-congenial juga tidak terlalu berkonflik, namun kurang puas menjalani perkawinannya. Dalam keseharian, pasangan-pasangan tipe ini lebih sering saling menghindar dan bukannya saling peduli.

4. Utilitarian

Berbeda dengan tipe-tipe lain, tipe utilitarian lebih menekankan peran ketimbang hubungan. Misalnya, peran sebagai ibu, sebagai ayah ataupun peran-peran lain. Terdapat perbedaan sangat kontras bila dibandingkan dengan tipe vital dan total yang bersifat intrinsik, yaitu mengutamakan relasi perkawinan itu sendiri.

5. Vital

Cirinya, pasangan suami-istri terikat satu sama lain, terutama oleh relasi pribadi antara yang satu dengan yang lain. Di dalam relasi tersebut, satu sama lain saling peduli untuk memuaskan kebutuhan psikologis pihak lain. Mereka berdua pun saling berbagi dalam melakukan berbagai aktivitas kendati masing-masing individu memiliki identitas kepribadian yang kuat. Yang mengesankan, komunikasi mereka mengandung kejujuran dan keterbukaan. Kalaupun mengalami konflik biasanya lantaran ada hal-hal yang sangat penting. Untungnya, baik suami maupun istri saling berupaya menyelesaikannya dengan cepat dan bijak. Tentu saja tipe ini merupakan tipe relasi perkawinan yang paling memuaskan. Tak heran kalau tipe ini paling sedikit persentasenya dalam masyarakat.

6. Total
Tipe ini memiliki banyak kesamaan dengan tipe vital. Bedanya, pasangan ini sedemikian saling menyatu hingga menjadi “sedaging” (one flesh). Mereka selalu dalam kebersamaan secara total yang meminimalkan adanya pengalaman pribadi dan konflik. Akan tetapi tidak seperti pasangan tipe devitalized, kesepakatan di antara mereka biasanya dibangun demi hubungan itu sendiri. Sayangnya, tipe perkawinan seperti ini sangat jarang.


C.  Penyesuaian dan pertumbuhan dalam perkawinan
Hirning dan Hirning (1956) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan itu lebihkompleks dibandingkan yang terlihat. Dua orang memasuki perkawinan harus menyesuaikan satu sama lain dengan tingkatan yang berbeda-beda. Untuk tingkat organismik mereka harus menyesuaikan diri dengan sensori, motor, emosional dan kapasitas intelektual dan kebutuhan. Untuk tingkat kepribadian, masing-masing mereka harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan, keterampilan, sikap, ketertarikan, nilai-nilai, sifat, konsep ego, dan kepercayaan. Pasangan juga harus menyesuaikan dengan lingkungan mereka, termasuk rumah tangga yang baru, anak-anak, sanak keluarga, teman, dan pekerjaan.

Lasswell dan Lasswell (1987) mengatakan bahwa konsep dari penyesuaianperkawinan adalah bahwa dua individu belajar untuk saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan, dan harapan.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah dua orang memasuki tahap perkawinan dan mulai membiasakan diri dengan situasi baru sebagai suami istri yang saling menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan,kehidupan keluarga, dan saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan.

Banyak faktor sosial dan demografis yang ditemukan memiliki hubungan dengan penyesuaian perkawinan (Dyer, 1983). Berikut ini beberapa hal yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan :

Usia
Udry dan Schoen (dalam Dyer, 1983)mengatakan bahwa penyesuaian pekawinan rendah apabila pasangan menikah pada usia yang sangat muda, yaitu laki-laki di bawah 20 tahun dan wanita di bawah 18 tahun. Mereka dihadapkan pada tuntutan dan beban seputar perkawinan, dimana bisa menyebabkan rasa kecewa, berkecil hati, dan tidak bahagia. Penelitian juga mengatakan bahwa dalam ketidakmatangan, cenderung untuk melihat perkawinan dari segi romantismenya dan kurang persiapan untuk menerima tanggung jawab dari perkawinan tersebut.
Tapi dalam hal perbedaan usia, penelitian ditemukan tidak terlalu meyakinkan. Ada penelitian menemukan bahwa akan lebih menguntungkan bagi pasangan yang memiliki usia yang sama (Locke; Blode & Wolfe, dalam Dyer, 1983), namun pada penelitian lain juga ditemukan bahwa usia yang berbeda tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam penyesuaian pekawinan (Udry, Nelson & Nelson, dalam Dyer, 1983).
Agama

Hubungan antara agama dan penyesuaianperkawinan sudah diselidiki sepanjang tahun. Walaupun begitu, selalu ditemukan hasil yang berbeda-beda dan selalu tidak konsisten. Terman (dalam Dyer, 1983) menyimpulkan bahwa latar belakang agama dari pasangan bukan faktor yang berarti dalam kebahagiaan perkawinan. Pada penelitian pernikahan beda agama (Christensen & Barber; Glenn, dalam Dyer, 1983) ditemukan bahwa pernikahan beda agama antara Katolik, Yahudi, dan Protestan sedikit kurang bahagia dibandingkan pernikahan dengan agama yang sama di ketiga agama tersebut.

Ras

Sejauh ini tidak ada penelitian khusus penyesuaian perkawinan dimana perkawinan antar ras sebagai variabelnya. Walaupun ada opini terkenal yang mengatakan bahwa perkawinan antar ras penuh resiko, sebenarnya secara statistik sangat sedikit yang mendukung pandangan ini (Udry, dalam Dyer, 1983). Penelitian yang dilakukan Monahan (dalam Dyer, Universitas Sumatera Utara331983) pada perkawinan antar ras di Iowa, ditemukan bahwa perkawinan antar kulit hitam dan putih lebih stabil daripada perkawinan kulit hitam dan hitam; dia juga menemukan bahwa perkawinan dengan suami kulit hitam dan istri kulit putih memiliki rata-rata perceraian yang rendah dibandingkan dengan rata-rata perceraian pada perkawinan kulit putih dan putih.
Dimana perbedaan sosial dan kultur masih tetap ada dan larangan pada perkawinan antar ras masih kuat, mereka berusaha untuk tahan menghadapi larangan dan berusaha kuat untuk menghadapi sangsi yang ada dari kelompok ras mereka masing-masing

Pendidikan

Data dari survei nasional mengatakan bahwa pendidikan tidak selamanya menjadi faktor yang penting dalam penyesuaian perkawinan. Glenn dan Weaver (dalam Dyer, 1983) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara lamanya mengecap pendidikan dengan kebahagiaan perkawinan.
Penelitian terhadap perbedaan pendidikan pada pasangan dengan penyesuaian perkawinan belum sepenuhnya jelas, karena ada pendapat yang mengatakan bahwa pasangan dengan tingkat pendidikan yang sama akan lebih puas dengan perkawinannya dan hasil penelitian yang lain juga mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara perbedaan tingkat pendidikan suami istri dengan penyesuaianperkawinan (Terman; Burgess & Wallin, dalam Dyer, 1983).

Keluarga Pasangan

Salah satu hal yang harus dihadapioleh pasangan yang baru menikah adalah bagaimana mengatasi hubungan selanjutnya dengan orang tua dan sanak saudara setelah menikah. Beberapa penelitian dalam hal saudara istri atau suami mengindikasikan bahwa masalah ini lebih mempengaruhi wanita daripada pria (Duvall; Komorovsky, dalam Dyer, 1983). Ibu mertua dan kakak ipar lebih cenderung sebagai masalah dalam ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan abang ipar. Inti dalam perselisihan biasanya menyangkut aktifitas dan peran wanita dalam rumah tangga.


D. Perceraian dan pernikahan kembali
Menikah Kembali setelah perceraian mungkin menjadi keputusan yang membingungkan untuk diambil. Karena orang akan mencoba untuk menghindari semua kesalahan yang terjadi dalam perkawinan sebelumnya dan mereka tidak yakin mereka bisa memperbaiki masalah yang dialami. Mereka biasanya kurang percaya dalam diri mereka untuk memimpin pernikahan yang berhasil karena kegagalan lama menghantui mereka dan membuat mereka ragu-ragu untuk mengambil keputusan.Sebagai manusia, kita memang mempunyai daya tarik atau daya ketertarikan yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi, semua hal yang telah kita miliki dan nikmati untuk suatu periode tertentu akan kehilangan daya tariknya.
Penelitian menunjukan bahwa penduduk lansia Amerika hampir akan berlipat ganda pada tahun 2050, menurut laporan Pew Research. Seperti baby boomer memasuki masa pensiun, perhatian ada siapa yang akan merawat mereka dengan bertambahnya usia mereka. Secara tradisional, anak-anak telah menerima tanggung jawab pengasuhan, tapi peran-peran pengasuhan menjadi kabur karena keluarga lebih banyak terpengaruh oleh perceraian dan pernikahan kembali dibandingkan dekade sebelumnya. Lawrence Ganong, seorang profesor dan co-kursi di Departemen MU Pembangunan Manusia dan Studi Keluarga di Fakultas Ilmu Lingkungan Manusia (HES), mempelajari bagaimana perceraian dan pernikahan kembali mempengaruhi keyakinan tentang siapa yang harus merawat kerabat penuaan. Dia menemukan bahwa kualitas hubungan, riwayat saling membantu, dan keputusan sumber daya mempengaruhi ketersediaan tentang siapa yang peduli untuk orang tua dan orang tua tiri.
Menikah Kembali setelah perceraian bisa menjadi kan pengalaman, tinggalkan masa lalu dan berharap untuk masa depan yang lebih baik lagi dari pernikahan sebelumnya.


E. Alternatif selain pernikahan
Batasan usia untuk menikah kini semakin bergeser, apalagi tingkat pendidikan dan kesibukan meniti karir juga ikut berperan dalam memperpanjang batasan usia seorang untuk menikah. Keputusan untuk melajang bukan lagi terpaksa, tetapi merupakan sebuah pilihan. Itulah sebabnya, banyak pria dan perempuan yang memilih untuk tetap hidup melajang. Alasan yang paling sering dikemukakan oleh seorang single adalah tidak ingin kebebasannya dikekang. Apalagi jika mereka telah sekian lama menikmati kebebasan bagaikan burung yang terbang bebas di angkasa. Jika hendak pergi, tidak perlu meminta ijin dan menganggap pernikahan akan membelenggu kebebasan. Belum lagi jika mendapatkan pasangan yang sangat posesif dan cemburu.
Banyak pria menempatkan pernikahan pada prioritas kesekian, sedangkan karir lebih mendapat prioritas utama. Dengan hidup melayang, mereka bisa lebih konsentrasi dan fokus pada pekerjaan, sehingga promosi dan kenaikan jabatan lebih mudah diperoleh. Biasanya, pelajang lebih bersedia untuk bekerja lembur dan tugas ke luar kota dalam jangka waktu yang lama, dibandingkan karyawan yang telah menikah.






A.    Memilin pasangan

Perkawinan adalah ikatan atau komitmen emosional dan legal antara seorang pria dengan seorang wanita yang terjalin dalam waktu yang panjang dan melibatkan aspek ekonomi, sosial, tanggungjawab pasangan kedekatan fisik serta hubungan seksual (Regan, 2003; Olson & Defrain, 2006; Secommbe & Warner, 2004)

1. Teori Psikodinamika
Psikodinamika adalah salah satu aliran besar dari tiga aliran besar di Psikologi. Tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah Sigmund Freud, inti dari aliran ini adalah bahwa tingkah laku dan kepribadian dipengaruhi oleh ketidaksadaran. Jadi, kita melakukan atau bersikap sesuatu karena hal-hal yang secara tidak sadar ada di dalam diri kita. Menurut teori ini, seseorang memilih pasangan karena
a) parent image, kita cenderung memilih pasangan hidup yang seperti orang tua kita. Misalnya seorang perempuan yang jatuh cinta pada laki-laki yang hampir mirip ayahnya, juga seorang laki-laki yang menikah perempuan yang hampir mirip ibunya. Biasanya mirinya itu tingkah laku, atau cara pemikiran.
b) ideal mate, kita memilih pasangan berdasarkan kriteria pasangan ideal yang sudah ada di dalam diri kita. biasanya setiap orang memiliki kriteria tertentu tentang pasangan ideal. nah, misalnya saya mau menikah dengan orang yang suka warna biru, atau menurut kita pasangan ideal itu adalah yang sholat subuh nya di masjid #eh. 
2. Teori kebutuhan
Menurut teori ini, biasanya kita mencari pasangan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup kita. Atau ada juga teori kebutuhan komplementer, dimana hubungan pasangan itu bisa terjalin karena dua orang yang merasa bisa saling memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Kebutuhan hidup itu ga terbatas sama sandang, pangan, papan, tapi juga kenyamanan, kasih sayang, perhatian, dll.
3. Teori Pertukaran 
a. Pertukaran yang tradisional, dimana pasangan melanjutkan hubungan karena percaya akan mendapatkan kembali apa yang sudah diberikan pada pasangan. Jadi seseorang yakin akan mendapatkan hal yang setimpal dari apa yang sudah ia berikan pada pasangannya. 
b. Teori Keadilan, dimana seseorang yakin dan percaya bahwa hubungan yang baik dan tepat akan mengembalikan apa yang sudah diberikan dengan proporsi yang tepat. 
4. Teori Proses Perkembangan
Ada faktor-faktor perkembangan yang memengaruhi seseorang untuk memutuskan apakah pasangannya merupakan orang yang tepat untuk menjadi pasangan hidup. a) apakah seseorang itu memenuhi syarat untuk dijadikan pasangan hidup, b) keakraban dan kedekatan, c) ketertarikan, d) homogami dan heterogami, kecenderungan atas homogami dan heterogami tentunya menentukan siapa yang akan dijadikan pasangan hidup. e) kesesuaian, apakah dua orang merasa sesuai dan serasi untuk hidup bersama. f) proses penyaringan dan seleksi, seorang yang ingin dijadikan pasangan hidup akan kita seleksi dan saring agar menemukan orang yang dianggap tepat. 
5. Teori waktu dan tempat
Nah ini, pasangan hidup yang tepat bisa jadi muncul di waktu dan tempat yang paling tepat. Sebaik apapaun, atau secocok apapun seseorang dengan kriteria yang kita inginkan bisa jadi orang itu tidak akan membuat kita merasa yakin bahwa ia lah pasangan yang tepat. Tapi bisa jadi, seseorang yang biasa saja datang di waktu dan tempat yang tepat membuat kita merasa ‘klik’ dan yakin ini dia!
6.Teori Stimulus-Value-Role 
hubungan yang serius biasanya melewati tiga tahapan, pertama, dua orang yang saling tertarik karena penampilan fisik, karena interaksi yang nyambung, reputasi, pakaian yang dipakai. Pokoknya seseorang tertarik dengan orang lainnya karena hal-hal yang terlihat dari luar.
kemudian, tahap kedua adalah karena pasangan ini memiliki kesamaan value/nilai dalam memandang kehidupan. memiliki visi dan misi hidup yang sama, kemauan untuk saling mengkompromikan nilai tentang hidup, cara pandang akan politik, lingkungan, dll. 
terakhir, tahapan role/peran. pasangan mengevaluasi diri apakah mereka bisa melakukan dan berbagi peran dengan baik antar satu sama lain. kalau ketiga tahapan ini berjalan dengan baik, bisa jadi pasangan itu merupakan orang yang tepat. Atau kalau mau menemukan orang yang tepat coba carilah orang yang cocok dan sesuai melewati tiga tahapan ini bersama. 


B.  Hubungan dalam perkawinan

PENYESUAIAN DIRI

Dengan mengamati relasi Anda dalam perkawinan untuk kemudian mencocokkannya dalam tipe-tipe yang disebutkan di atas, bukan berarti kita lantas pesimis bila ternyata tipe perkawinan kita cenderung rawan konflik. Justru sudah saatnya kedua belah pihak introspeksi diri guna mengupayakan kebahagiaan perkawinan yang telah mereka bina. Di antaranya Kesediaan menerima hal yang kurang mengenakkan kesediaan menyesuaikan peran, menyesuaikan komunikasi saat konflik, menyesuaikan diri dalam kehidupan seks, sekaligus keberanian mengantisipasi perubahan-perubahan. Bukankah setiap orang pada dasarnya memiliki dinamika tersendiri alias selalu berubah?

TIPE-TIPE PERKAWINAN

1. Conflict-habituated
Tipe conflict-habituated boleh dibilang sebagai “partner in crime”. Tipe ini adalah tipe pasangan yang jatuh dalam kebiasaan mengomel dan bertengkar tiada henti. Kebiasaan ini menjadi semacam “jalan hidup” bagi mereka. Tak heran kalau secara konstan mereka selalu menemukan ketidaksepakatan. Dengan kata lain, stimulasi perbedaan individu dan konflik justru mendukung kebersamaan pasangan tersebut.

2. Devitalized

Tipe hubungan devitalized merupakan karakteristik pasangan yang sekali waktu dapat mengembangkan rasa cinta, menikmati seks, dan satu sama lain saling menghargai. Namun mereka cenderung merasakan kehampaan hidup perkawinan kendati tetap berada bersama-sama. Soalnya, kebersamaan mereka lebih karena dorongan demi anak atau citra mereka dalam komunitas masyarakat. Menariknya, pasangan tipe ini tak merasa dirinya maupun perkawinannya tidak bahagia. Mereka berpikir bahwa kondisi saat ini merupakan hal biasa setelah berlalunya tahun-tahun penuh gairah. Ironisnya, tipe perkawinan inilah yang paling banyak ditemukan dalam masyarakat mana pun.

3. Passive-congenial

Pada dasarnya pasangan tipe passive-congenial memiliki kesamaan dengan pasangan tipe devitalized. Hanya saja kehampaan yang dirasakan telah berlangsung sejak awal perkawinan. Boleh jadi karena perkawinan seperti ini biasanya berangkat dari berbagai pertimbangan ekonomis atau status sosial dan bukannya relasi emosional. Seperti halnya pasangan tipe devitalized yang minim keterlibatan emosi, pasangan passive-congenial juga tidak terlalu berkonflik, namun kurang puas menjalani perkawinannya. Dalam keseharian, pasangan-pasangan tipe ini lebih sering saling menghindar dan bukannya saling peduli.

4. Utilitarian

Berbeda dengan tipe-tipe lain, tipe utilitarian lebih menekankan peran ketimbang hubungan. Misalnya, peran sebagai ibu, sebagai ayah ataupun peran-peran lain. Terdapat perbedaan sangat kontras bila dibandingkan dengan tipe vital dan total yang bersifat intrinsik, yaitu mengutamakan relasi perkawinan itu sendiri.

5. Vital

Cirinya, pasangan suami-istri terikat satu sama lain, terutama oleh relasi pribadi antara yang satu dengan yang lain. Di dalam relasi tersebut, satu sama lain saling peduli untuk memuaskan kebutuhan psikologis pihak lain. Mereka berdua pun saling berbagi dalam melakukan berbagai aktivitas kendati masing-masing individu memiliki identitas kepribadian yang kuat. Yang mengesankan, komunikasi mereka mengandung kejujuran dan keterbukaan. Kalaupun mengalami konflik biasanya lantaran ada hal-hal yang sangat penting. Untungnya, baik suami maupun istri saling berupaya menyelesaikannya dengan cepat dan bijak. Tentu saja tipe ini merupakan tipe relasi perkawinan yang paling memuaskan. Tak heran kalau tipe ini paling sedikit persentasenya dalam masyarakat.

6. Total
Tipe ini memiliki banyak kesamaan dengan tipe vital. Bedanya, pasangan ini sedemikian saling menyatu hingga menjadi “sedaging” (one flesh). Mereka selalu dalam kebersamaan secara total yang meminimalkan adanya pengalaman pribadi dan konflik. Akan tetapi tidak seperti pasangan tipe devitalized, kesepakatan di antara mereka biasanya dibangun demi hubungan itu sendiri. Sayangnya, tipe perkawinan seperti ini sangat jarang.


C.  Penyesuaian dan pertumbuhan dalam perkawinan
Hirning dan Hirning (1956) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan itu lebihkompleks dibandingkan yang terlihat. Dua orang memasuki perkawinan harus menyesuaikan satu sama lain dengan tingkatan yang berbeda-beda. Untuk tingkat organismik mereka harus menyesuaikan diri dengan sensori, motor, emosional dan kapasitas intelektual dan kebutuhan. Untuk tingkat kepribadian, masing-masing mereka harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan, keterampilan, sikap, ketertarikan, nilai-nilai, sifat, konsep ego, dan kepercayaan. Pasangan juga harus menyesuaikan dengan lingkungan mereka, termasuk rumah tangga yang baru, anak-anak, sanak keluarga, teman, dan pekerjaan.

Lasswell dan Lasswell (1987) mengatakan bahwa konsep dari penyesuaianperkawinan adalah bahwa dua individu belajar untuk saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan, dan harapan.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah dua orang memasuki tahap perkawinan dan mulai membiasakan diri dengan situasi baru sebagai suami istri yang saling menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan,kehidupan keluarga, dan saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan.

Banyak faktor sosial dan demografis yang ditemukan memiliki hubungan dengan penyesuaian perkawinan (Dyer, 1983). Berikut ini beberapa hal yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan :

Usia
Udry dan Schoen (dalam Dyer, 1983)mengatakan bahwa penyesuaian pekawinan rendah apabila pasangan menikah pada usia yang sangat muda, yaitu laki-laki di bawah 20 tahun dan wanita di bawah 18 tahun. Mereka dihadapkan pada tuntutan dan beban seputar perkawinan, dimana bisa menyebabkan rasa kecewa, berkecil hati, dan tidak bahagia. Penelitian juga mengatakan bahwa dalam ketidakmatangan, cenderung untuk melihat perkawinan dari segi romantismenya dan kurang persiapan untuk menerima tanggung jawab dari perkawinan tersebut.
Tapi dalam hal perbedaan usia, penelitian ditemukan tidak terlalu meyakinkan. Ada penelitian menemukan bahwa akan lebih menguntungkan bagi pasangan yang memiliki usia yang sama (Locke; Blode & Wolfe, dalam Dyer, 1983), namun pada penelitian lain juga ditemukan bahwa usia yang berbeda tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam penyesuaian pekawinan (Udry, Nelson & Nelson, dalam Dyer, 1983).
Agama

Hubungan antara agama dan penyesuaianperkawinan sudah diselidiki sepanjang tahun. Walaupun begitu, selalu ditemukan hasil yang berbeda-beda dan selalu tidak konsisten. Terman (dalam Dyer, 1983) menyimpulkan bahwa latar belakang agama dari pasangan bukan faktor yang berarti dalam kebahagiaan perkawinan. Pada penelitian pernikahan beda agama (Christensen & Barber; Glenn, dalam Dyer, 1983) ditemukan bahwa pernikahan beda agama antara Katolik, Yahudi, dan Protestan sedikit kurang bahagia dibandingkan pernikahan dengan agama yang sama di ketiga agama tersebut.

Ras

Sejauh ini tidak ada penelitian khusus penyesuaian perkawinan dimana perkawinan antar ras sebagai variabelnya. Walaupun ada opini terkenal yang mengatakan bahwa perkawinan antar ras penuh resiko, sebenarnya secara statistik sangat sedikit yang mendukung pandangan ini (Udry, dalam Dyer, 1983). Penelitian yang dilakukan Monahan (dalam Dyer, Universitas Sumatera Utara331983) pada perkawinan antar ras di Iowa, ditemukan bahwa perkawinan antar kulit hitam dan putih lebih stabil daripada perkawinan kulit hitam dan hitam; dia juga menemukan bahwa perkawinan dengan suami kulit hitam dan istri kulit putih memiliki rata-rata perceraian yang rendah dibandingkan dengan rata-rata perceraian pada perkawinan kulit putih dan putih.
Dimana perbedaan sosial dan kultur masih tetap ada dan larangan pada perkawinan antar ras masih kuat, mereka berusaha untuk tahan menghadapi larangan dan berusaha kuat untuk menghadapi sangsi yang ada dari kelompok ras mereka masing-masing

Pendidikan

Data dari survei nasional mengatakan bahwa pendidikan tidak selamanya menjadi faktor yang penting dalam penyesuaian perkawinan. Glenn dan Weaver (dalam Dyer, 1983) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara lamanya mengecap pendidikan dengan kebahagiaan perkawinan.
Penelitian terhadap perbedaan pendidikan pada pasangan dengan penyesuaian perkawinan belum sepenuhnya jelas, karena ada pendapat yang mengatakan bahwa pasangan dengan tingkat pendidikan yang sama akan lebih puas dengan perkawinannya dan hasil penelitian yang lain juga mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara perbedaan tingkat pendidikan suami istri dengan penyesuaianperkawinan (Terman; Burgess & Wallin, dalam Dyer, 1983).

Keluarga Pasangan

Salah satu hal yang harus dihadapioleh pasangan yang baru menikah adalah bagaimana mengatasi hubungan selanjutnya dengan orang tua dan sanak saudara setelah menikah. Beberapa penelitian dalam hal saudara istri atau suami mengindikasikan bahwa masalah ini lebih mempengaruhi wanita daripada pria (Duvall; Komorovsky, dalam Dyer, 1983). Ibu mertua dan kakak ipar lebih cenderung sebagai masalah dalam ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan abang ipar. Inti dalam perselisihan biasanya menyangkut aktifitas dan peran wanita dalam rumah tangga.


D. Perceraian dan pernikahan kembali
Menikah Kembali setelah perceraian mungkin menjadi keputusan yang membingungkan untuk diambil. Karena orang akan mencoba untuk menghindari semua kesalahan yang terjadi dalam perkawinan sebelumnya dan mereka tidak yakin mereka bisa memperbaiki masalah yang dialami. Mereka biasanya kurang percaya dalam diri mereka untuk memimpin pernikahan yang berhasil karena kegagalan lama menghantui mereka dan membuat mereka ragu-ragu untuk mengambil keputusan.Sebagai manusia, kita memang mempunyai daya tarik atau daya ketertarikan yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi, semua hal yang telah kita miliki dan nikmati untuk suatu periode tertentu akan kehilangan daya tariknya.
Penelitian menunjukan bahwa penduduk lansia Amerika hampir akan berlipat ganda pada tahun 2050, menurut laporan Pew Research. Seperti baby boomer memasuki masa pensiun, perhatian ada siapa yang akan merawat mereka dengan bertambahnya usia mereka. Secara tradisional, anak-anak telah menerima tanggung jawab pengasuhan, tapi peran-peran pengasuhan menjadi kabur karena keluarga lebih banyak terpengaruh oleh perceraian dan pernikahan kembali dibandingkan dekade sebelumnya. Lawrence Ganong, seorang profesor dan co-kursi di Departemen MU Pembangunan Manusia dan Studi Keluarga di Fakultas Ilmu Lingkungan Manusia (HES), mempelajari bagaimana perceraian dan pernikahan kembali mempengaruhi keyakinan tentang siapa yang harus merawat kerabat penuaan. Dia menemukan bahwa kualitas hubungan, riwayat saling membantu, dan keputusan sumber daya mempengaruhi ketersediaan tentang siapa yang peduli untuk orang tua dan orang tua tiri.
Menikah Kembali setelah perceraian bisa menjadi kan pengalaman, tinggalkan masa lalu dan berharap untuk masa depan yang lebih baik lagi dari pernikahan sebelumnya.


E. Alternatif selain pernikahan
Batasan usia untuk menikah kini semakin bergeser, apalagi tingkat pendidikan dan kesibukan meniti karir juga ikut berperan dalam memperpanjang batasan usia seorang untuk menikah. Keputusan untuk melajang bukan lagi terpaksa, tetapi merupakan sebuah pilihan. Itulah sebabnya, banyak pria dan perempuan yang memilih untuk tetap hidup melajang. Alasan yang paling sering dikemukakan oleh seorang single adalah tidak ingin kebebasannya dikekang. Apalagi jika mereka telah sekian lama menikmati kebebasan bagaikan burung yang terbang bebas di angkasa. Jika hendak pergi, tidak perlu meminta ijin dan menganggap pernikahan akan membelenggu kebebasan. Belum lagi jika mendapatkan pasangan yang sangat posesif dan cemburu.
Banyak pria menempatkan pernikahan pada prioritas kesekian, sedangkan karir lebih mendapat prioritas utama. Dengan hidup melayang, mereka bisa lebih konsentrasi dan fokus pada pekerjaan, sehingga promosi dan kenaikan jabatan lebih mudah diperoleh. Biasanya, pelajang lebih bersedia untuk bekerja lembur dan tugas ke luar kota dalam jangka waktu yang lama, dibandingkan karyawan yang telah menikah.

DAFTAR PUSTAKA